Tak Hanya Kartini

April 21, 2012 at 11:53 am Tinggalkan komentar

Tanggal 21 april biasanya selalu diperingati sebagai hari Kartini.  Pernahkah kita berfikir kenapa harus ada hari kartini? Jika itu sebagai bentuk penghargaan kepadanya karena telah “mengangkat” derajat kaum wanita, maka mungkin bisa timbul pertanyaan yang lain, kenapa hanya kartini? Hanya ada hari untuk kartini. Bukankah banyak pahlawan wanita yang juga ikut berjuang untuk diri, kaum, bahkan negaranya?

Sebelum mengira-ngira atau mengamini hari “spesial” 21 april ini, akan lebih arif rasanya jika kita ketahui dulu apa yang menjadi latar belakang kisah peringatan yang kita rasakan auranya kini.

Image

133 tahun yang lalu, Jepara, Jawa Tengah, lahir seorang bayi yang kelak menjadi “hero” di kalangan kaumnya, jasanya akan dikenang, namanya akan dikenali oleh bocah polos hingga kaum tua renta. Raden Ajeng Kartini, lahir dari keluarga bangsawan Jawa, putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang bupati Jepara. R.A. Kartini yang dibesarkan dalam kehidupan layaknya seorang putri bangsawan, mempunyai minat yang besar terhadap kehidupan sosial di sekitarnya, terlebih bagi kaum wanita. R.A Kartini memiliki kepandaian dalam merangkai kata-kata, banyak surat yang ia tulis yang biasanya ia kirimkan kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon. Hubunganya dengan Abendanon menjadi gerbang hari spesial ini lahir. Ia semakin di kenal dikalangan orang Belanda, Estella Zeehandelaar, seorang aktivis gerakan Social Democratische Arbeiderspartij (SDAP) adalah wanita yang mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme.

Setelah menikah Kartini mendirikan Sekolah Kepandaian Putri, disitulah R. A kartini menanamkan nilai-nilai emansipasi wanitanya, wanita tak hanya berkutat dengan kamar, dapur, dan rumah. Sebuah kesetaraan derajat yang harus diperjuangankan. Setelah wafatnya Kartini, namanya semakin besar terdengar, orang-orang Belanda termasuk Abendon, menerbitkan buku yang berisi surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).

Dua tahun setelahnya, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda. Prof. Dr. Harsja Bachtriar kemudian mencatat: “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”

Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.”

Kita mengembangkannya lebih lanjut dan terus berlanjut hingga hari ini, suatu bingikasan emansipasi wanita yang dikirimkan dari Belanda. Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.

Lalu, apakah hanya Kartini? Apakah sebelum Kartini wanita-wanita Indonesia seuntuhnya hanya wanita-wanita bodoh yang mudah diinjak-injak kepribadiannya? Atau mungkin wanita Indonesia pada masa sebelum Kartini belum memiliki kepribadian?

Mungkin kita terlupa atau memang tak memperdulikannya, bahwa

164 tahun yang lalu, bumi Aceh dihadiahi dengan lahirnya seorang bayi yang kelak akan memperjuangkan bangsanya dengan ayunan pedang dan jiwa yang tak tunduk terhadap penjajah. Cut Nyak Dien, ia cukup dikenal dalam mata uang rupiah senilai Rp10.000,- keluaran tahun 1998, juga dalam sebuah film yang di sutradarai oleh Eros Djarot, Tjoet Nja’ Dhien pada tahun 1988, serta di kalangan siswa SD yang posternya terpajang di sudut kelas sebagai Pahlawan Nasional. Image

Jika Kartini berjuang dalam keindahan katanya-katanya maka Cut Nyak Dien lebih memilih ikut serta mengangkat pedang dan menebas penjajah dengan ayunan tangannya. Ketika Belanda membakar Mesjid Raya Baiturrahman, Cut Nyak Dien pun berujar keras di hadapan rakyat Aceh, “Lihatlah wahai orang Aceh. Tempat ibadah kita dirusak. Mereka telah mencoreng nama Allah. Sampai kapan kita akan begini? Sampai kapan kita akan menjadi budak Belanda.”                                                                                                                    

Mundurlah 371 tahun dari sekarang, kita akan melihat kepemimpinan hebat dari Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat yang sangat cerdas dalam memajukan pendidikan baik untuk pria maupun wanita. Wanita yang menguasai 4 bahasa asing diantaranya bahasa Arab, Persia, Image

Spanyol dan Urdu ini berhasil mengagalkan usaha Belanda untuk menguasai Aceh, VOC tidak berhasil memonopoli perdagangan timah dan komoditi lainnya.

Semakin mundur kita akan bertemu dengan Malahayati, pada tahun 1599, sekitar 416 tahun yang lalu ia memimpin 2000 pasukan Inong Balee dan mengegerkan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda, hebatnya lagi ia berhasil membunuh Cornelis de Houtman dengan tangannya sendiri. Karena itulah ia diberi gelar laksamana, Laksamana Malahayati.

Begitu lama waktu bagi penjajah menyulam sejarah di tanah Indonesia, Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Jepang, masing-masing dari mereka membentuk kain kisah yang berbeda-beda. Begitupun para pejuang kita, tak hanya pejuang dari kaum Adam, namun juga dari kaum Hawa, tak hanya Kartini, namun masih banyak lagi. Atas dasar apa hanya ada hari untuk Kartini tapi tidak untuk pejuang yang lain? Kenapa emansipasi yang disodorkan Belanda yang kita lanjutkan hingga hari ini? Apa kurangnya dengan emansipasi berudarakan islam yang telah terlebih dahulu ada di Indonesia? Mungkinkah hadiah dari orang “asing” lebih berharga buat kita? (bolly)

Entry filed under: Uncategorized.

Lupa Nomor Hp sendiri? Don’t worry :D SNMPTN Coming Soooonnn!!!

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


Salam Ukhuwah

Selamat datang di blog Assalam Sumbar. Bersatu Menjalin Ukhuwah. Semoga Bermanfaat. Bravo Dakwah Sekolah. BRM, BRI (Bina Remaja Islam), ROHIS (Kerohanian Islam), FSI (Forum Studi Islam), KSI (Kelompok Studi Islam), Forum Arrijal, Forum Annisa di mana saja berada. Baik Itu di SMA, SMK, MAN, MAKN, STM dan lain-lain. Salam Ukhuwah.

Blog Stats

  • 24.735 hits
April 2012
S S R K J S M
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
30  

Top Clicks

  • Tidak ada